Headlines

Membongkar Sindikat Bisnis Vaksin

Logo Namru-2

AIC - Siti Fadilah Supari adalah satu-satunya menteri yang minta BIN (Badan Intelejen Negara) melakukan investigasi terhadap kegiatan operasi kapal riset militer AS–Namru (Naval Medical Research Unit).
Kapal ini termasuk lembaga yang menyuplai semua sampel virus penyakit yang ada di Indonesia.

Dalam wacana ilmiah, barangkali memang tidak cukup kuat alasan menuding kapal riset Namru melakukan kegiatan spionase.Tapi, dalam konteks operasional, kecurigaan Siti Fadilah sangat beralasan. Pasalnya, ke mana hasil riset Namru dibawa (sejak 1970) dan jenis sampel penyakit apa saja yang mereka keluarkan dari Indonesia, tidak terkontrol. Terutama karena para awak Namru punya kekebalan diplomatik.

INILAH.COM, Jakarta - Sebuah ketidakadilan terjadi di bidang kesehatan dunia. Negeri penyumbang sampel virus seperti Indonesia harus membeli vaksin dengan harga mahal. Negara maju pembuat vaksin selama ini asyik menikmati keuntungan besar.

Beberapa pekan sebelum berkunjung ke Indonesia, Menkes AS Michael Leavitt sempat bertemu Menkes RI Siti Fadilah Supari di Swiss. Dari pembicaraan ketika itu, tampaknya, AS kembali merasa kurang puas.
Lebih-lebih, Menkes RI dalam kapasitasnya sebagai praktisi kedokteran sudah menerbitkan buku yang mengajak masyarakat dunia untuk berani 'melawan' hegemoni negara-negara maju seperti AS. Buku 'Saatnya Dunia Berubah' buah karya Menkes RI di luar dugaan membuat AS yang selama ini merasa selalu benar, cukup tersinggung. 

Sekalipun buku itu ditulis dalam kapasitas pribadi sebaagai praktisi kedokteran, saat versi bahasa Inggrisnya beredar di dunia, Siti Fadilah masih berstatus Menkes sebuah negara berpenduduk 240 juta jiwa. Legitimasinya sebagai intelektual sangat akuntabel. 

Dari berbagai informasi yang beredar, sikap Menkes RI dianggap makin menganggu AS. Sebab, Siti Fadilah adalah satu-satunya menteri yang minta BIN (Badan Intelejen Negara) melakukan investigasi terhadap kegiatan operasi kapal riset militer AS–Namru (Naval Medical Research Unit). 

Kapal ini termasuk lembaga yang menyuplai semua sampel virus penyakit yang ada di Indonesia. Dalam wacana ilmiah, barangkali memang tidak cukup kuat alasan menuding kapal riset Namru melakukan kegiatan spionase. 

Tapi, dalam konteks operasional, kecurigaan Siti Fadilah sangat beralasan. Pasalnya, ke mana hasil riset Namru dibawa (sejak 1970) dan jenis sampel penyakit apa saja yang mereka keluarkan dari Indonesia, tidak terkontrol. Terutama karena para awak Namru punya kekebalan diplomatik. 

Gugatan Siti Fadilah tentu saja mengejutkan AS. Selama ini pejabat, anggota kabinet RI, selalu berperilaku sebagai 'anak manis' ketika menghadapi AS. Wajarlah jika AS sangat terganggu dan kemudian mengutus Leavitt ke Indonesia. 

Dari kunjungannya, Leavitt gagal meyakinkan Menkes RI. Ia kemudian menohok Indonesia lewat isu penyakit flu burung. Dan, pernyataan itu baru dibuatnya setelah berada di Vietnam. Leavitt seolah ingin meyakinkan Vietnam sekaligus mengadu domba dengan Indonesia yang disebutnya sama sebagai negara tempat berkembang biaknya penyakit flu burung.

Demo menentang keberadaan Namru-2 di Indonesia.
Dari kasus kesehatan dan penyakit flu burung ini, jelas terbaca terjadinya perubahan yang cukup mendasar dan signifikan tentang paradigma yang digunakan negara maju seperti AS dalam menjalin hubungan antarnegara. Bila pada dekade sebelumnya masalah ideologi yang jadi ukuran, secara bertahap bergeser ke masalah kerja sama militer, ekonomi, bahkan pemberantasan terorisme. 

Tapi, perkembangan terakhir memperlihatkan, persoalan virus flu burung bisa menjadi masalah yang sangat serius. Ini tercermin dari pernyataan bernada mengancam dari Leavitt di Hanoi. Tersirat cukup jelas, melalui Leavitt, AS menyudutkan Indonesia. 

Karena Siti Fadilah selaku Menkes RI kukuh dalam pendirian, hampir bisa dipastikan dalam waktu mendatang AS akan memainkan beberapa kartunya untuk 'menekan' Indonesia. Sebagai negara adidaya, AS tentu tidak ingin dikalahkan begitu saja. 

Keberanian Menkes RI menulis buku yang menggugat dominasi negara maju dalam dunia kesehatan serta keseriusannya membongkar kegiatan operasi Namru adahal hal yang patut dibela semua kekuatan dan elemen bangsa. Kendatipun, mungkin, hal ini akan jadi kerikil baru bagi hubungan RI-AS. [Habis/E1/I3]

Konspirasi Dibalik NAMRU-2 dan Strategi Perang Pasifik

Berbicara NAMRU memang sudah tidak menghangat lagi, ketika bu Endang menjadi menkes, NAMRU dan segala pro kontra keberadaanya di Indonesia menjadi hilang.

Sebenarnya apa tujuan NAMRU ada di Indonesia? Apakah laboratorium milik AS ini bertanggung jawab atas penyebaran Flu Burung di Indonesia? Sejauh ini apa manfaat yang diterima pihak Indonesia dari keberadaan lab yang di kelola angkata Laut Amerika itu sehingga terus dipertahankan?

NAMRU bercokol di Indonesia lebih dari 30 tahun dengan tujuan untuk riset medis dan keilmuan yang berfokus pada penyaki-penyakit tropis. Apakah ini bagian dari strategi Amerika untuk menguasai kawasan jika nanti pecah perang Pasifik ke-2? Konon Jepang kalah perang Pasifik pada perang dunia II, diakibatkan banyak tentaranya yang mati oleh nyamuk malaria.

Kita ketahui bersama, Naval Medical Research Unit No 2 (NAMRU-2) adalah lembaga riset biologi Amerika di Indonesia yang bekerjasama dengan Rockefeller Institute Amerika. Mereka memiliki program rahasia yang dinamakan Viral Diseases Program (VDP), program riset yang meniliti epidemologi virus demam berdarah, influenza, ensefalitis, dan rickettsioses. Lembaga tersebut diketuai oleh David Rockefeller. Jadi dari awal saya ingin bilang bahwa, NAMRU memang adalah lembaga virus.



NAMRU-2 sering dicurigai membawa misi rahasia Amerika, seperti mengembangkan senjata biologi pemusnah massal. Kecurigaan tersebut sangat berdasar mengingat pidato David Rockefeller saat ia berbicara di hadapan Komisi Trilateral Amerika pada bulan Juni tahun 1991 silam. Rockefeller mengatakan; "Kami berterima kasih kepada harian Washington Post, harian New York Times, Time Magazine dan media cetak lainnya atas kebijaksanaan mereka mau menepati janji selama hampir empat puluh tahun ini. Kami sendiri tidak mungkin bisa mengembangkan rencana kami untuk dunia jika harus tunduk terhadap peraturan transparasi informasi. Namun saat ini fasilitas kami lebih canggih dan kami siap untuk mendukung Amerika."

Laboratorium NAMRU-2 berada di Indonesia sejak 1975 berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan AS 16 Januari 1971. Keberadaannya sendiri bukan tanpa alasaan. Ini dikarenakan terjadinya wabah penyakit pes di Boyolali 1968 dan karena pemerintah Indonesia belum mampu menanggulangi wabah tersebut maka pemerintah Indonesia meminta bantuan AS.

Alasan inilah yang perlu kita perdalam lebih jauh. Pertanyaannya adalah kenapa harus Amerika dan NAMRU-2-nya yang kemudian hadir menyelesaikan masalah pes ini? Tentu ini bukan tanpa sebab. Naiknya Soeharto menduduki tampuk RI-1 memang tidak lepas atas peran besar Amerika. Sebagai pihak yang berjasa besar dibalik naiknya Soeharto, Amerika merencanakan segala program untuk mengontrol Indonesia baik dari eksploitasi sumberdaya alam seperti Freeport, maupun kesehatan, termasuk Namru. Karena itu tidak heran, kita baru mendengar nama Namru akhir-akhir ini, karena selama ini kegiatan Namru berusaha ditutup rapat-rapat oleh Soeharto dan memiliki otonomi sendiri.

Hal ini terus berlangsung hingga masa pemerintahan SBY. Siti Fadhilah Supari didapuk menjadi Keynote Speaker dalam acara Kajian Zionisme Internasional, 2009 silam. Disitu, Bu Siti Fadhilah mengatakan sebenarnya rencana pemberhentiaan (atau pencopotan?) dirinya sebagai Menkes sudah berlangsung jauh-jauh hari. Konon, Amerika gerah dengan ulah beliau dalam menguak konspirasi dibalik strategi NAMRU-2 menyebarkan virus di Indonesia.

Siti Fadilah Supari secara terang-terangan melarang semua rumah sakit di Indonesia untuk mengirimkan sampel virus flu burung ke NAMRU. Sebab, kontrak kerjasama dengan Namru telah berakhir sejak Desember 2005.

Dalam bukunya yang berjudul 'Saatnya Dunia Berubah', Siti Fadilah Supari juga menyoroti WHO dan negara asing lainnya memanfaatkan sampel virus flu burung Indonesia untuk dibuat vaksin, yang selanjutnya dijual ke Indonesia dengan harga mahal.

Pada 16 Oktober 2009, pemerintah secara resmi menghentikan kerjasama dengan NAMRU-2. Penghentian kerjasama ditandai dengan sebuah surat. "Dengan hormat, pemerintah Republik Indonesia menyatakan pemberhentian kerjasama," demikian isi surat Siti Fadilah kepada Duta Besar Amerika Serikat, Cameron Hume.

Namun bukan berarti ditutupnya NAMRU-2, strategi Amerika mengendalikan sektor kesehatan Indonesia menjadi berakhir. Pasca ditutupnya NAMRU-2, IUC (Indonesia USAID Center for Biomedical and Public Health Center) digadang-gadangkan mesin baru Amerika di Indonesia dalam bidang kesehatan. Forum baru itu dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan Indonesia dan Departemen Kesehatan Amerika. Menurut Fahmi AP Pane, Staf Ahli Fraksi PPP DPR RI, kriteria peneliti AS di IUC dan klausul keistimewaan yang dulu diberikan kepada peneliti NAMRU-2, seperti kekebalan diplomatik dan kebebasan bergerak di seluruh wilayah Indonesia, mekanisme transfer material, dan lain-lain juga belum terjelaskan kepada DPR RI dan publik. Padahal, itu tergolong kepentingan publik sebagaimana Pasal 2 Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Maka kita harus terus memantau pergerakan dari IUC ini.

Terkait strategi perang pasifik, hal itu memang tidak dapat dipungkiri, karena keberadaan Namru-2 sendiri juga berperan sebagai alat diplomasi Amerika di dataran Asia Pasifik. Di Indonesia, NAMRU-2 boleh ditutup, tapi tidak untuk beberapa negara lain di Asia Tenggara, seperti Laos, Singapura, Thailand, dan Kamboja. Mereka terus berjalan hingga detik ini.

Tulisan tentang Namru-2 selebihnya dapat anda baca langsung Disini.


No comments:

Post a Comment

Yayasan Al-IkhlasAll rights reservedyayasanalikhlas.net Copyright © 2014

Theme images by Bim. Powered by Blogger.