Headlines

Siapakah Terry Jones, Pendeta ''Pembakar'' Al-Quran?


Florida- Sejak menyatakan akan membakar Al-Quran, Terry Jones terus menjadi pusat perhatian dunia. Namun informasi tentang dirinya sangat minim. Siapakah dia?

Pria 58 tahun ini adalah pendeta di Dove World Outreach Center, sebuah gereja kecil di Gainesville, Florida, Amerika Serikat, sejak 1996. Di masa muda dia pernah bekerja sebagai manajer hotel, lalu banting stir menjadi penceramah berkeliling Eropa selama 30 tahun.

Pendeta bertampang wajah keras, dengan rambut dan kumis putih, ini menggemari film Braveheart karya Mel Gibson. Mengambil inspirasi film perang Skotlandia-Inggris yang berlatar agama itu, dia meluncurkan seri video dalam jaringan dengan semangat anti-Islam. Dampaknya, ceramah-ceramah SARA-nya menjangkau audiens luas, melewati 50 keluarga jemaat gerejanya.

Pendeta Jones juga mengarang buku "Islam sama dengan Iblis". Frase yang sama dipampang di lingkungan gerejanya. Kampanye negatif ini dia luncurkan sejak 2002, setahun setelah serangan 11 September.

Pendeta yang selalu menenteng pistol ini juga memanfaatkan dua anaknya untuk kampanye. Pada Agustus 2009, anaknya yang berumur 10 dan 15 tahun dipulangkan oleh sekolah karena mengenakan kaus bertulis "Islam adalah Iblis."

Di luar kampanye SARA ini, Gereja Dove yang dipimpinnya juga jadi sorotan karena kasus penggelapan pajak. Menurut koran lokal Gainesville Sun, kantor pajak setempat mengatakan, beberapa bagian dari gereja seluas 20 hektare itu digunakan untuk kegiatan komersil. Properti seluas 157 meter persegi itu ditaksir bernilai Rp 14 miliar tapi hanya dilaporkan Rp 1,2 miliar.

Isu miring lain menyebutkan, sang pendeta terlibat pornografi anak, walaupun tidak pernah terbukti. Berbagai kabar negatif itu tidak menyurutkan massa untuk mengamini khutbah Jones. Lamannya tentang Hari Pembakaran Al-Quran di Facebook disukai lebih dari 8000 orang.

Pendeta Jones melansir kampanye gila ini untuk mengenang Tragedi 11 September 2001. "Islam mendukung kekerasan," ujarnya. Dia menyediakan 200 Al-Quran untuk dibakar di halaman gerejanya dan meminta pendukungnya untuk melakukan hal serupa di tempat masing-masing.

Berbagai tekanan, mulai dari lapisan masyarakat, Menteri Luar Negeri AS, sampai Panglima AS di Afganistan tidak menyurutkan niatnya. "Saya cuma membakar buku, bukan membunuh," kata Jones, enteng. Ancaman pembunuhan, yang menyebabkan dia dikawal polisi beberapa hari belakangan, juga tidak dihiraukannya.(Sumber)

Inilah wajah Pendeta Terry Jones

Jones mendirikan sekte Dove World Outreach Center di kota itu dan mengklaim gerejanya sebagai tempat ibadah perjanjian baru dan terbuka bagi aliran manapun.

Sikap Pastor Jones yang membenci Islam didasarkan pada persepsinya bahwa Islam bukan agama yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk berpendapat. Malangnya, ia pun mengekspresikan pandangannya dengan sikap yang jauh dari toleran. Alih-alih bersikap bijak, ia memilih bertindak terbuka. Dan, tentu saja, sikapnya itu menyulitkan banyak orang.

Kini, pemihakannya atas film Innocence of Muslims, membuat pihak AS belingsatan. Memintanya bersikap lebih bijak. Sikap keras dan terbuka Pastor Jones rupanya juga mengundang komentar negatif dari anaknya sendiri, Emma Jones.

Saat mendengar ayahnya mengancam akan membakar Al-Quran, Emma menyebut bahwa ayahnya sudah tidak waras dan membutuhkan bantuan pengobatan.

Emma mengaku telah mengirim pesan melalui e-mail ke ayahnya, mendesak pembatalan rencana membakar Al Quran. Ia menulis, “Ayah batalkan (rencana membakar Al Quran) itu!.” Namun, ayahnya tidak menjawab surat kiriman Emma.

Lebih jauh, Emma menyebut ayahnya tipe orang yang keras hati. “Ayah saya bukan orang yang mudah menyerah,” kata Emma.

“Sebagai seorang putri, saya melihat sebenarnya ada niat baik dalam hati ayah. Tapi saya rasa dia memerlukan bantuan. Saya kira dia sudah gila,” kata Emma dalam wawancara dengan der Spiegel.

Emma menceritakan bagaimana ayahnya dulu membangun sebuah komunitas Kristen selama bertahun-tahun di Cologne, Jerman. Namun, kemudian ayahnya mengalami disorientasi dalam memahami Alkitab.

“Waktu saya berusia 17 tahun, ayah saya meninggalkan komunitas tersebut,” ungkapnya.

Emma menjelaskan bahwa masyarakat setempat mengusir ayahnya karena menilai ajarannya menyimpang dan kemudian ayahnya pergi ke Amerika Serikat. Saat bertemu kembali dengan ayahnya pada 2005, ia mengetahui ayahnya membangun komunitas kembali seperti sekte.

“Saya melihat bahwa ayah saya berkhotbah dan melakukan hal-hal yang saya tidak temukan sama sekali di Alkitab. Dia menuntut kesetiaan total kepada dirinya sendiri dan istri keduanya,” kata Emma.

“Sesungguhnya saya melihat ajaran itu khayalan religius ayah. Seperti bukti khas sekte. Saya sangat berharap ayah mendapatkan kembali akal sehatnya,” katanya.(Sumber)


No comments:

Post a Comment

Yayasan Al-IkhlasAll rights reservedyayasanalikhlas.net Copyright © 2014

Theme images by Bim. Powered by Blogger.